Jakarta, Jakarta

kereta-reu-palinggi.jpg

Ketika saya harus meninggalkan Yogyakarta pekan lalu, saya merasa bahwa langkah saya biasa-biasa saja. Enteng tidak, berat pun saya kira bukan. Ya, saya pada akhirnya harus pergi dari kota yang sudah saya tinggali semenjak empat setengah tahun lalu.

Pada akhirnya, saya sudah terdampar di sini, di sebuah kota yang pengap bernama Jakarta.

Jakarta modern adalah sebuah kota yang lahir dari rahim ambisi seorang insinyur-cum-negarawan bernama Soekarno.

Seperti digambarkan oleh Christopher Koch dalam bukunya A Year of Living Dangerously, Jakarta diciptakan Soekarno untuk menjadi sebuah ibukota dunia yang kelak akan mahsyur. Kota yang tak kalah gemerlap dari New York, tak kurang indah dari Barcelona (buat seseorang yang akan segera ke Barcelona, tolong periksa setiap jengkal keindahannya ya? Would you?:) ) atau Paris. (Meski sang Bung akan selalu melewatkan akhir pekannya di selatan Jakarta, tepatnya di Bogor).

Jakarta, selain gemerlap, juga menyimpan keresahannya sendiri. Dan tentu saja, ia berbeda dan bertolak belakang dari Yogyakarta.

Pukul sembilan malam di Yogya adalah waktu untuk keluarga. Pada jam-jam ini, keluarga berkumpul di depan ruang televisi. Suami-istri menggusah anak tunggal mereka untuk segera tidur dan mereka akan larut dalam aktivitas mereka sendiri. Entah itu melanjutkan nonton teve sembari menyeruput teh hangat, bercengkerama atau bahkan bersenggama.

Di sana, malam adalah saatnya para kuli (seperti saya) serta mahasiswa-mahasiswa tua maupun muda merehatkan badan yang sudah sayah. Duduk-duduk di warung angkringan, menikmati kopi atau teh jahe. Membiarkan malam berlalu perlahan dalam hembusan asap dari tembakau yang dibakar.

Tapi Jakarta tidaklah sama. Saat-saat seperti itu, kota terkutuk ini masih berderap-derap. Bus-bus kota bersicepat menembus gelap. Masih banyak orang-orang yang berhamburan dari gedung-gedung tinggi bagaikan ribuan semut keluar dari sarangnya.

Wajah-wajah ayu tapi kuyu. Paras-paras lelah duduk terkantuk-kantuk. Pikiran mereka melayang entah ke mana. Mengawang-awang, melamun, tak tahu sedang memikirkan siapa. Pekerjaan, orang-orang di kantor dan di rumah, bos, selingkuhan, siapa tahu?

Di saat subuh menjelang, Jakarta dan daerah di sekelilingnya mulai menggeliat dalam langkahnya yang cepat. Bangkit sepagi mungkin dan memulai perjuangan membelah kemacetan yang menggila. Berpeluh dan mengeluh.

Dan 540 kilometer jauhnya di tenggara ibukota, orang-orang masih terlelap tidur dibuai sisa mimpi semalam. Terbangun dan menguap, menikmati sarapan pagi.

Tapi ini bukanlah dikotomi tentang rural atau metropolis, maju atau tidak maju, modern atau terbelakang. Ini adalah tentang bagaimana budaya sebuah kota. Jakarta yang selalu terburu dan Yogya yang pelan mengalun.

Jakarta tentu tidak sama dengan Yogya. Adalah terlalu naif bila menganggap dua kota itu bisa dibandingkan satu dan yang lainnya. Saya tahu betul itu, meski di dalam hati saya (sudah) merindukan Yogya (lagi).

Kemarin malam, dari sebuah ruangan berpendingin yang nyaman di lantai delapan sebuah gedung mewah di pusat Jakarta, tiba-tiba saya teringat Soekarno.

(Foto: Crack Palinggi/Reuters)

48 respons untuk ‘Jakarta, Jakarta’

  1. sama saja…Jakarta cuman hanya sekedar “Kampung besar” itu saja.
    memaksakan kultur berbasis agraris warganya ditengah hingar bingarnya kapitalis..
    sama saja…^_^

  2. arya berkata:
    “…dari sebuah ruangan berpendingin yang nyaman di lantai delapan sebuah gedung mewah di pusat Jakarta,..”

    hmm…ini pasti lante lapan hotel sentral di jl pramuka!!!!
    ..alalalala..baru beberapa malam di jakarta..sudah mulai nakal kau nak..jiakakakak

  3. kangen jogja, bro? hehehe…. biasa itu, sindrom minggu2 pertama. lama2, sampeyan akan lbh kangan prwkrt daripada jogja. dari satu jarak yang ajeg dan konstan, jogja justru akan lbh terlihat utuh dan fair, lengkap dengan segala kelebihan dan kebusukannya juga. dua tahun yang lalu aku bisa melewatinya. jogja –kini– kadang hanya seperti sebuah album tua.

  4. aaah, sudah di sini? selamat datang di jakarta yang katanya busuk tapi toh membuat semua orang ngiler untuk mengais kehidupan di kebusukannya.

    welcome to the club, arya! 😀

  5. Pada akhirnya, saya sudah terdampar di sini, di sebuah kota yang pengap bernama Jakarta.

    lha berarti chika juga pengap gitu?
    alah bilang aja kaw ga mo ninggalin anto dengan miyabi-nya kan
    😆

    3 Gb itu yang kaw bilang terang
    😆

  6. jika boleh aku berpendapat,..
    melihat Jakarta – Bandung – Jogjakarta
    seperti melihat lintasan degradasi pergerakan manusia..

    dari sangat cepat, menjadi cepat dan kemuadian pelan mengalun seperti katamu, Ya…

    Thats why, i love my new home town here… in Jogja 😉
    walau orang2 berkata,
    “hanya pengecut yang tidak berani berlari kencang..”

  7. jakarta tak pernah tidur bung… sesekali datanglah tengah malam ke pasar kebayoran, saat orang terlelap para pedagang justru sedang mulai menggelar lapaknya. atau ke blok m, saat para pelacur menutup dagagannya, para pedagang sibuk bertransaksi.

    jadi mari kita nikmati….:)

  8. wah… ana di jogja nih… di kaliurang…. daerah pogung tepatnya….

    pulang ke kotamu
    ada setangkai harum dalam rindu
    masih seperti dulu
    tiap sudut menyapaku bersahabat
    penuh selaksa makna

  9. weew… awas kena gagap budaya Mas… hihihihi
    saya ngalamin soalnya 7 tahun yang lalu, setelah sekian lama terbuai dengan irama tenangnya Jogja 😛

    salam kenal… 🙂

  10. di Jogja duit 1,5jt / bulan dah bisa nabung tuh… gimana jakarta?? separonya dah kepotong buat kosan. buat makan sebulan juga hampir ngabisin separonya… sebulan disana aja udah *Hmppfffhhh*

    kalo gak bener-bener terpaksa, pikir2 deh buat nguli di Jakarta…kecuali kesana buat jadi juragan (gak pake piki-piki dah)…

    Yogyakarta *emang* Berhati Nyaman,, wes tho..!!

  11. waduh itu foto jadi inget tabrakan ka beberapa thn yang lalu.. bahkan ada pilemnya.. tragedi bintaro.. tapi kok orang gak kapok2 juga yach.. mgkin nyawanya ada 9 kalee…atau ikutin pepatah pahlawan.. mati satu tumbuh seribu yac..

  12. Sama mas….. Saya juga kangen ma Jogja…. Tapi yang dulu…..
    sekarang kok merasa udah kosmopolitan banget….

    temenku bilang….
    “di jogja itu semua ada, baik yang jelek maupun yang buruk”

  13. di tempatku yang sekarang lebih santai dari Jogja
    segala sesuatu mengalir lebih perlahan
    buktinya: gak ada traffic light di sini
    tapi aku tetep kangen Jogja, my hometown
    untuk alasan-alasan lain
    bisa gila tinggal di sini terus

  14. Jogja memang menawan….bak’ putri keraton yg sedang kasmaran….*halahhh… 😀 ( silakan mampir di blog saya yg terbaru… ga mo kalah dunkk ma arya hihihi )

  15. om arya , mendingan bikin 17tahun3.com aja

    keliatannya cukup jago mengimajinasikan khayalan 😀

    nanti gw suprot sama foto2 bule2 cewe skandinavia yg sedang menjemur susu kental manisnya

    😛

  16. emang beda banget , saya selama ini tinggal di jakarta. trus minggu kemarin ke jogja. beda banget suasananya, saya jauh lebih senang dengan suasana jogja. jadi pengen balik lg

Tinggalkan komentar