Lakers (1)

Catatan: Cari tiket itu butuh perjuangan, Jendral! Bualan panjang, jadi sebaiknya saya pecah biar nggak capek bacanya. Bagian pertama dari dua tulisan.

Stadion Staples Center di Los Angeles

Saya jatuh cinta kepada sepakbola di usia 11 tahun, ketika Piala Dunia 1994 digelar di Amerika Serikat. Tapi saya baru memulai suka basket 2-3 tahun kemudian. Itu lebih karena teman-teman di sekolah juga menyukai basket.

Di masa saya mulai memerhatikan basket, saat itu adalah penghujung karir pebasket terhebat dunia, Michael Jordan. Tapi para pemain hebat lain seperti Hakeem Olajuwon, Patrick Ewing, Shaquille O’Neal, Reggie Miller dan Chris Webber juga cukup akrab di telinga.

Meski sepakbola adalah olahraga kesukaan nomor satu, tetapi saya justru merasakan pengalaman menyaksikan tontonan kelas dunia justru di cabang basket. Saya belum pernah nonton langsung Liga Inggris, Liga Italia atau Liga Spanyol di tempat asalnya, tetapi setidaknya saya sudah pernah nonton langsung pertandingan NBA.

Sebenarnya, nonton NBA tidak ada dalam rencana saya saat melakukan liputan ke Las Vegas dan Los Angeles awal Januari kemarin. Niat untuk nonton basket baru muncul saat saya membaca koran Los Angeles Times dalam perjalanan dari Vegas ke LA. Pertandingan yang ingin saya tonton adalah antara LA Lakers melawan New York Knicks di Staples Center, Minggu 9 Januari 2011, jam 18.30 waktu setempat. Kepada sopir yang membawa kami, Antonio, saya tanya apakah hotel saya di Doubletree, Commerce, jauh dari Staples Center. Antonio bilang kalau jaraknya nggak jauh dan masih terjangkau pakai taksi.

Malam Minggu, setelah sempat jalan-jalan sebentar di luar di hotel, saya habiskan waktu dengan googling info soal sarana transportasi untuk mencapai Staples Center dan kembali lagi ke hotel. Patut dicatat, tidak ada stasiun MRT yang dekat dengan hotel, dan itu berarti saya harus menghapal rute bus. Mengingat BlackBerry saya mati selama di sana, saya save saja peta rute bus yang ruwet itu ke ponsel agar bisa dilihat offline.

Tak lupa, saya bertanya ke tour guide saya tentang agenda hari Minggu pagi. Ternyata, pagi itu kami akan dibawa ke Hollywood, Farmers Market, Pantai Santa Monica dan terakhir ke Staples Center dan Nokia Theatre. Dua bangunan terakhir ini terletak di satu tempat. Bagus, saya pikir. Nanti saya bisa ditinggal di Staples dan akan pulang sendiri ke hotel pakai angkutan umum.

Tour guide saya rupanya nyebelin. Dia seperti meragukan kalau saya bisa dapat tiket buat nonton. Saya bilang kalaupun tiket habis, saya bisa cari calo. Eh dia ngomong lagi kalau di Amerika nggak ada calo. “Kamu pikir ini di Indonesia?” ucap dia. Saya diam saja tapi memupuk asa buat dapat tiket. Saya belajar dari pengalaman mas Iman Brotoseno yang bisa dapat tiket nonton Arsenal di hari pertandingan.

Hari Minggu, setelah puas jalan-jalan ke Hollywood, melewati Beverly Hills dan Rodeo Drive yang tenar itu, lalu makan siang di Pantai Santa Monica yang biasa buat syuting serial Baywatch, sekitar jam 3 sore kami akhirnya sampai juga di downtown LA, mengunjungi Staples Center dan Nokia Theater yang terletak di antara 11th Street dan Figueroa Street.

Tampak depan Staples Center. Bentuk hurup L-nya memang bentuk cekrekan.

Begitu tiba di sana, saya langsung menuju ticket box. Saya tanya, berapa tiket termurah buat pertandingan ini. Saya dibuat gigit jari ketika petugas di ticket box bilang kalau tiket buat seluruh kelas sudah habis. Saya pun mulai mengedarkan pandangan dan berjalan-jalan di sekitar stadion basket yang bisa diisi 30 ribu orang itu. Saya mencari calo >:)

Ticket box, biasanya cuma buat penukaran tiket aja.

Mencari calo di Staples Center ternyata tidak mudah, tidak seperti di Stadion GBK di mana para calo dengan agresif menawarkan tiket kepada semua orang yang lewat. Belakangan, baru saya tahu kalau calo tiket pertandingan Lakers tidak mencari ‘mangsa’ di sekitar Staples, tetapi beraksi di sekitar Nokia Theater di seberang jalan atau di jalan-jalan yang berjarak 2-3 blok di luar stadion.

Sembari memotret sana sini, saya sempat berbincang dengan seorang fans Lakers berkulit hitam. Ketika saya bilang saya cari tiket, dia bilang cari saja di ‘scooper’ alias tukang catut, tampangnya biasanya laki-laki kulit hitam yang mencurigakan. Dalam hati saya membatin, “Ndasmu, kalau semua laki-laki kulit hitam yang tampangnya mencurigakan saya tanyai apakah dia calo atau bukan, bisa-bisa bukan tiket yang saya dapat tapi malah dapat bogem mentah.”

Yang baju kuning yang kasih saran saya buat nyari pria dengan tampang mencurigakan.

Saya belum menyerah. Saya kemudian mendekati tempat bertuliskan ‘press entry’, saya bilang kalau saya jauh-jauh dari Indonesia, bisa nggak saya masuk dengan status reporter. “Maaf, Anda harusnya mengirim email buat request liputan jauh-jauh hari. Setidaknya sepekan,” jawab seorang petugas pria dengan ramah.

“Kalau Anda mau, saya berikan alamat email buat korespondensi bila Anda mau meliput pertandingan berikutnya,” tawarnya simpatik. “Tidak, terima kasih. Ini hari terakhir saya di LA dan besok saya harus terbang kembali ke Indonesia,” jawab saya sembari berlalu.

Ya, seperti yang sudah saya bilang, nonton basket memang tidak ada dalam rencana saat berangkat dari Jakarta. April tahun lalu, saat saya seharusnya berangkat liputan ke Orlando, malah saya sempat mengirim email ke Orlando Magic apakah saya bisa meliput pertandingan mereka. Email itu tidak terjawab dan saya juga batal ke Orlando, tapi namanya juga usaha. Ya kan? :p

Saya mengitari Staples Center sampai dua kali, berusaha mencari orang yang mungkin mau menjual tiketnya. “Gimana, dapat tiket?” tanya teman serombongan saya saat berpapasan. “Belum. Negatif,” kata saya mulai putus asa.

Kans saya buat memperoleh selembar tiket menipis. Saya kemudian berjalan menjauh dari stadion buat mencari telepon umum. Saya mau mengontak teman saya ini karena kami janjian untuk ketemu di sekitar Staples usai pertandingan. Saya berniat untuk memajukan waktu ketemu bila saya gagal nonton Lakers.

Saya baru nemu telepon umum di stasiun MRT Pico, cuma satu blok dari Staples Center. Telepon nggak nyambung. Pertama saya pikir kalau teman saya ini susah dihubungin karena lagi di Big Bear, sebuah kawasan pegunungan yang jaraknya sekitar 2 jam naik mobil dari LA. Ternyata, saya salah pencet nomor. Harusnya, saya nggak pakai kode area lagi kalau nelpon nomer lokal. Hihihi. Ndeso ya tuips.

Matahari musim dingin tenggelam lebih cepat dan sekitar pukul 17.30 suasana sudah gelap. Gagal menelpon, saya kembali ke Staples. Eh setibanya di sana, saya melihat ada antrean terbentuk di dekat ticket box. Saya tanya ke salah seorang cewek yang sedang ngantre itu antrean apa. Ternyata itu adalah antrean resale tiket pertandingan. Wah, kabar baik! Saya pun masuk antrean yang belum terlalu panjang itu.

Di situ, saya ngobrol-ngobrol sama cewek yang ternyata datang sama cowoknya. Saya tanya apakah tiket sold out begini karena lawannya Knicks (musuh bebuyutan Lakers selain Boston Celtics), dia bilang, setiap pertandingan Lakers memang sold out. Sebagai informasi, kalaupun main tandang, kehadiran Lakers akan membuat stadion itu juga sold out. Magnet Lakers memang luar biasa.

Saya juga ngobrol-ngobrol dengan dua orang mahasiswa asal Shanghai, China, yang kuliah di Columbus, Ohio, dan sedang jalan-jalan ke LA. Kami ngobrol banyak, mulai dari cerita saya waktu di Beijing sampai obrolan soal Yao Ming, center Houston Rockets yang sedang cedera panjang.

Antrean bergerak dan tiket dijual lagi. Saya dengar harga tiket mencapai 100 dolar AS. “Mahal anjrit!’ pikir saya. Bahaya nih kalau nanti kantor nggak mau reimburse. Hahaha. Tak sampai 15 menit, petugas yang mengawasi antrean resale itu berteriak, “Siapa perlu satu tiket?” Saya mengangkat tangan dan maju. Ternyata harga tiketnya cuma 50 dolar tuips! Alhamdulillah, termasuk cukup murah. Setelah membayar dan tiket berpindah tangan, saya kembali ke dua mahasiswa China yang ada di belakang saya tadi. Saya salami mereka dan berucap, “Good luck!” “Have a nice game,” balas mereka. Kami berpisah di situ.

Bukti sahih tiket Lakers vs Knicks :))

Dapat tiket, persoalan belum selesai. Cuaca dingin membuat batere kamera saya lebih cepat habis. Nggak lucu dong kalau bisa masuk Staples Center tapi nggak ada foto? No pic=hoax! Saya lalu bertanya ke seorang steward perempuan apakah di dalam menjual batere. Dia bilang nggak ada, saya kemudian disarankan jalan sekitar dua blok ke arah timur (saya yakin ke arah timur) buat nyari batere di toko liquor.

Saya ngecek jam, sudah sekitar jam 18.00, cuma 30 menit sebelum pertandingan dimulai. Saya berlari ke arah yang dimaksud. Kira-kira dua blok, saya belok kanan satu blok. Di sana, ada toko liquor, tapi tokonya tutup. Mungkin ini karena hari Minggu. Saya masih terus berlari, mencari toko yang jual batere. Sekitar satu blok lagi, saya temukan ada toko liquor buka. Tapi, dia tidak jual batere :(( Saya akhirnya beli air minum di situ karena capek sehabis lari-lari.

Keluar dari toko liquor itu, saya terusin lagi jalan separuh berlari. Saya harus menemukan batere sehat buat kamera saya! Begitu tekad saya. Saya lari sampai melewati stasiun Pico yang tadi saya datangi. Di persimpangan jalan dekat Pico itulah saya lihat ada minimarket buka. Saya masuk dengan terburu-buru dan tanya apakah dia jual batere. Alhamdulillah, Puji Tuhan, dia jual! Saya buru-buru bayar. “Thanks buddy, in a rush to watch Lakers game.” kata saya sembari tersenyum.

Tuhan! Ternyata toko itu cuma berjarak satu blok dari Staples Center, tapi di sebelah baratnya! Saya menyesal banget kenapa harus lari-lari ke arah timur kalau akhirnya nemu di sebelah barat :)) Ya sudahlah, saya tengok jam di ponsel masih jam 18.15an. Saya jalan agak santai kembali ke stadion. Di tengah jalan saya sempat lihat ada calo menawarkan tiket ke calon penonton yang memarkir mobilnya jauh dari stadion.

Rute lari saya buat dapetin batere kamera 😐 titik hitam itu letak tokonya

Saya masuk ke Staples Center lewat pintu di Figueroa Street. Tiket tidak disobek, cuma dipindai saja. Tas saya diperiksa, lalu saya naik eskalator buat mencari tribun saya. Ternyata, tribun saya berada di bagian teratas Staples Center tuips! Masih bisa ngelihat pemain di lapangan sih. Untungnya juga ada layar tv raksasa di atas lapangan yang membantu kita melihat aksi di lapangan dengan jelas. Dua menit menjelang tip-off, saya akhirnya duduk manis di tribun. Lakers vs Knicks, here we go!

Tribun tertinggi, seharga 50 dolar! YEAH!

Bersambung ke cerita berikutnya

9 respons untuk ‘Lakers (1)

  1. jarang saya baca postingan sampai habis 😀
    ceritanya menarik, kecuali bagian nyari calo, agak muter2 dan mulai bosan hahaha
    yang nyari batre turut deg2an dan baru yakin itu kau setelah salah arah, harusnya ke barat malah ke timur :mrgreen:

Tinggalkan komentar